SEJARAH KEMENTRANS

Kementerian Transmigrasi dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2024 tentang Kementerian Transmigrasi. Sebelumnya, transmigrasi merupakan bagian dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi.

Penyelenggaraan transmigrasi di Indonesia sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1905. Pada saat itu, selain untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sasaran utamanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di luar Pulau Jawa. Program ini menjadi mobilitas atau perpindahan penduduk yang tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tetapi bisa juga keluarga, bahkan satu desa.

Berdasarkan data sejarah, transmigrasi di Indonesia berawal dari program migrasi atau lebih dikenal dengan istilah kolonisatie proof, yang jika diterjemahkan berarti kolonisasi.

Program pemerintah kolonial Hindia Belanda ini meliputie kebijakan kesejahteraan masyarakat miskin di Pulau Jawa untuk mengatasi bahaya kelaparan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pertama kali memindahkan 155 keluarga petani dari Kedu ke desa yang baru didirikan dekat Gedong Tataan, sebelah selatan dari Way Sekampung di Lampun Selatan. Desa ini pun kemudian menjadi lokasi pertama program kolonisasi petani Jawa di daerah luar Pulau Jawa.

Melalui program kolonisasi ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda memindahkan buruh-buruh di Pulau Jawa ke perkebunan dan daerah terpencil lainnya di Pulau Sumatera Program ini dianggap sebagai solusi dari semakin tingginya kemiskinan yang dialami oleh penduduk Pulau Jawa akibat kerja paksa. Pada periode percobaan kolonisasi tahun 1905-1911, penduduk yang berhasil dipindahkan sekitar 4.800 orang. Disebutkan juga antara tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa yang dipindahkan ke luar Pulau Jawa sudah mencapai 24.300 orang. Hal ini mengacu pada program pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membuka lagi ekspedisi untuk permukiman kolonisasi baru yang lebih besar pada tahun 1922. Jika dihitung berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan antara tahun 1905-1911 sebanyak 4.800 orang, berarti antara tahun 1911-1929 pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memindahkan penduduk melalui program kolonisasi sekitar 19.500 orang.

Pada masa pendudukan Jepang, transmigrasi berganti nama menjadi Kokuminggakari. Namun program ini sedikit berbeda, yang dipindahkan bukan keluarga, tapi hanya individu. Awalnya sukarela berubah menjadi pemaksaan. Tujuannya adalah untuk diperkerjakan dalam rangka menyediakan bahan pangan dan menambah kekuatan militer Jepang. Pelaksanaan kokuminggakari hanya sekali, yaitu pada tahun 1943 yang memindahkan sebanyak 31.700 jiwa penduduk yang berasal dari Pulau Jawa ke suatu daerah seperti di Lampung yang saat itu diberi nama Toyosawa. Lokasi tersebut sekarang menjadi Kecamatan Purbolinggo di wilayah Lampung Tengah.

Meskipun telah ada pada masa kolonial Hindia Belanda, namun istilah transmigrasi mulai diberlakukan sejak 1950, yaitu di era pemerintahan Orde Lama. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) disebutkan, perpindahan penduduk atau transmigrasi bertujuan untuk penyebaran penduduk dan tenaga kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi dan pertanian dalam pembangunan daerah.

Pemberangkatan transmigran pada era Orde Lama ini kali pertama dilakukan setelah kemerdekaan yaitu pada bulan Desember 1950 dengan tujuan lokasi transmigrasi di Lampung. Antara tahun 1950-1959 pemerintah telah memindahkan transmigran sebanyak 22.360 orang. Pada era ini, penduduk Pulau Jawa yang mengikuti program transmigrasi jumlahnya cukup tinggi. Bahkan, sebagian dari mereka bersedia berangkat ke daerah tujuan tranmsigrasi dengan biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Di lokasi tujuan, mereka cukup melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bangtuan material lainnya.

Di masa Orde Baru, kebijakan transmigrasi tertuang dalam program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yaitu pada Pelita I kebijakan transmigrasi dikaitkan dengan usaha pembangunan pedesaan dan pertania. Pelita II, calon transmigran dikembangkan tidak melulu para petani tetapi kalangan veteran juga mendapat kesempatan melalui program Biro Rekonstruksi Nasional (BRN). Pelita III, orientasi transmigrasi adalah persebaran penduduk dan membangun masyarakat baru untuk membantu pembangunan daerah asal dan daerah transmigrasi. Pada periode Repelita ke-2 antara tahun 1974-1979, pemerintah mampu memberangkatkan transmigran sebanyak 204.000 orang. Repelita ke-3 (1979-1983) sebanyak lebih 500.000 keluarga. Repelita ke-4, yaitu pada akhir bulan Oktober 1985, sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang telah berhasil diberangkatkan. Pada masa Orde Baru ini, program transmigrasi akhirnya melahirkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.

Di masa Reformasi, program transmigrasi masih termasuk dalam rencana pembangunan pada era otonomi daerah. Namun, penyelenggaraan transmigrasi dihadapkan pada tantangan terkait dengan perubahan tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang sebelumnya cenderung sentralistik, dihadapkan pada tantangan berupa penerapan asas desentralisasi dan otonomi. Penerapan otonomi daerah selain menyebabkan pergeseran kewenangan pada penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan pelaksanaan transmigrasi sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah.

Sejak era reformasi hingga saat ini, transmigrasi mengalami banyak perubahan penting. Salah satu yang paling terlihat yaitu sub-sektor transmigrasi tidak lagi masuk dalam sektor tenaga kerja dan transmigrasi, tetapi dalam sektor pembangunan daerah dan transmigrasi. Bobotnya tidak lagi dititikberatkan pada penyebaran tenaga kerja, melainkan lebih mendukung pembangunan daerah. Pada praktiknya, program transmigrasi merupakan proses pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru.

Penyelenggaran transmigrasi memang telah mengalami perubahan makna dari satu masa ke masa berikutnya berdasarkan situasi dan kondisi zaman, keadaan sosial politik yang berkembang serta kebutuhan akan perlunya program transmigrasi pada setiap masa. Tanpa mengabaikan segala permasalahan yang ada, penyelenggaraan transmigrasi selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam pembangunan nasional dan pengembangan wilayah.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian mengamanatkan bahwa tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah (1) meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar, (2) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah, dan (3) memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar, transmigrasi telah berkontribusi dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri yang bersumber dari sektor pertanian dan perkebunan seperti padi yang menghasilkan 3,3 juta Ha, Jagung 310 Ha, Sawit 1,14 Juta Ha. Sedangkan capaian transmigrasi yang mendorong industrialisasi pengolahan hasil pertanian dan perkebunan antara lain terdapat 22 pabrik kelapa sawit, 1 pabrik serbuk karet, dan 4 pabrik kakao.

Selama periode tahun 2020-2024, kawasan transmigrasi telah berkembang secara positif dalam memajukan infrastruktur serta perekonomian di daerah. Capaian status perkembangan kawasan transmigrasi di 52 kawasan prioritas nasional menunjukkan sejumlah 7 kawasan berdaya saing, 33 kawasan mandiri, dan 12 kawasan berkembang. Pada kawasan transmigrasi berdaya saing, terdapat produk unggulan kawasan yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan sendiri, namun juga produk unggulan kawasan tersebut sudah dipasarkan. Di kawasan dengan status mandiri, standar pelayanan minimal sudah terpenuhi dan produk unggulan kawasan sudah dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Sedangkan pada kawasan dengan status berkembang, pemenuhan standar pelayanan minimal dan produk unggulan mulai dikembangkan.

Capaian lain transmigrasi dalam peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah dapat dilihat dengan lahirnya 3 ibu kota provinsi yaitu Kota Mamuju menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Barat, Tanjung Selor ibukotanya Provinsi Kalimantan Utara, dan Merauke sebagai ibukota Provinsi Papua Selatan. Selain ibukota Provinsi, transmigrasi juga telah melahirkan 116 ibukota kabupaten, 466 ibukota kecamatan, dan 1.567 desa definitif. Keberhasilan transmigrasi pada terbentuknya pemerintahan baru ini turut pula mendorong lahirnya pusat-pusat pertumbuhan baru sebagaimana Instruksi Presiden No 9 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Kota Baru Mandiri (KTM) Tanjung Selor dan pengembangan ekonomi wilayah seperti terbentuknya 10.688 Poktan, 566 unit koperasi, 495 pasar, 784 unit BUMDes, dan 50 kawasan sentra produksi CPO.

Dalam konteks pembangunan, program transmigrasi juga turut mengembangkan desa-desa terpencil dan daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Kawasan transmigrasi sebagai bagian dari program nasional juga secara konsisten berkembang dengan menggunakan pendekatan ekonomi inklusif melalui kerja sama dengan pihak swasta dalam mendistribusikan produk unggulan daerahnya masing-masing. Hal ini menjadi upaya percepatan pembangunan daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang memiliki potensi sebagai motor penggerak pembangunan daerah untuk meningkatkan daya saing daerah yang masih rendah.

Dari aspek penataan persebaran penduduk, transmigrasi telah berhasil meningkatkan persatuan dan kesatuan masyarakat dan meningkatkan integrasi antar-etnis dan antar daerah melalui capaian program transmigrasi yang telah menempatkan sejumlah 2.007.744 kepala keluarga atau 7.280.003 jiwa sampai dengan tahun 2023 yang tersebar di berbagai wilayah.

Semua capaian keberhasilan dan kontribusi transmigrasi tersebut sejalan dengan visi Presiden dan Wakil Presiden yang diwujudkan dengan 8 misi atau disebut Asta Cita, yaitu pada Misi ke-2 memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru, dan Misi ke-6 yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

id_IDIndonesian
Scroll to Top